Saumlaki, Malukuexpress.com– SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, tengah menjadi sorotan publik setelah kebijakannya dinilai tidak sejalan dengan komitmen pemerintah dalam penerapan aturan pendidikan nasional. Kasus ini dianggap berpotensi mengganggu pemenuhan hak pendidikan generasi muda di daerah terpencil.
Inspektorat Daerah Kepulauan Tanimbar mengonfirmasi bahwa proses pemeriksaan atas dugaan permasalahan di sekolah tersebut masih berlangsung. Klarifikasi awal telah dimintakan kepada kepala sekolah, dan pemeriksaan lanjutan akan dilakukan dengan memanggil pihak-pihak terkait guna memperkuat data.
“Untuk sementara, kasus ini masih dalam proses pemeriksaan. Publik diminta bersabar menunggu hasil resmi. Keterangan kepala sekolah baru sebatas versi yang bersangkutan, dan kami belum dapat memastikan kesimpulan apapun,” ujar Inspektur Pemerintah Daerah Kepulauan Tanimbar kepada malukuexpress.com, Senin (29/9/2025) pukul 13.30 WIT.
Persoalan mencuat setelah SMP Negeri 2 Fordata memutuskan tidak menaikkan sejumlah siswa hanya karena alasan absensi dan keterlambatan membaca. Ironisnya, sebagian siswa yang dinyatakan tidak naik justru telah mampu membaca dengan baik. Kebijakan ini menuai sorotan karena dinilai tidak proporsional serta berpotensi menghambat hak pendidikan siswa. Lebih jauh, keputusan tersebut dianggap kontraproduktif dengan target nasional menekan angka putus sekolah.
Padahal, Pemerintah pusat sendiri menargetkan peningkatan angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) melalui program wajib belajar 12 tahun. Namun, kebijakan di tingkat sekolah yang bersifat terlalu administratif dinilai kontraproduktif, khususnya di daerah dengan keterbatasan sarana, akses transportasi, dan kondisi sosial ekonomi.
“Anak-anak tidak boleh menjadi korban. Mereka berhak memperoleh pembelajaran yang layak tanpa terganjal persoalan internal sekolah,” tegas seorang pemerhati pendidikan di Fordata.
Tak hanya itu, kebijakan yang dilakukan SMP Negeri 2 Yaru yang tidak menaikkan delapan siswa asal Sofyanin menuai kritik luas karena dinilai bertentangan dengan prinsip Kurikulum Merdeka, yang mengutamakan pendampingan siswa, bukan menahan mereka di kelas.
Sejumlah pihak menilai keputusan tersebut justru memperburuk potensi angka putus sekolah di Kecamatan Fordata dan sekitarnya. Karenanya, pendekatan yang lebih komprehensif, mencakup aspek akademik, pembinaan karakter, serta pendampingan psikososial siswa, dinilai lebih tepat.
Pemerhati Pendidikan Johosua Metanfanuan menilai, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola sekolah di SMP Negeri 2 Fordata agar tidak terjadi kontradiksi antara kebijakan nasional dan implementasi di lapangan.
“Pendekatan berbasis inklusi dan pembinaan intensif jauh lebih sejalan dengan strategi nasional dalam mencetak generasi unggul serta menekan angka putus sekolah,” ungkap Johosua.
Terlepas dari itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara, tanpa terkecuali, termasuk bagi anak-anak di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Pemenuhan hak pendidikan ini dipandang sebagai mandat konstitusional yang tidak dapat dinegosiasikan.
Lebih jauh, Generasi muda diposisikan sebagai aset strategis bangsa sekaligus modal utama pembangunan nasional. Oleh karena itu, tata kelola pendidikan di seluruh jenjang dan daerah harus diarahkan untuk menjamin akses yang adil, merata, serta berkualitas, sehingga seluruh anak Indonesia memperoleh kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi dirinya.
Namun demikian, di tengah harapan agar implementasi aturan pendidikan nasional dijalankan secara konsisten, praktik di lapangan justru menunjukkan adanya kontradiksi. Keputusan manajerial di SMP Negeri 2 Fordata maupun SMP Negeri 2 Yaru dinilai mencederai orientasi kebijakan nasional, sekaligus berpotensi menghambat upaya menyiapkan sumber daya manusia unggul yang siap bersaing dalam menghadapi tantangan global.
Penulis (Petu)