Oleh: Andre Vincent Wenas. Vivere pericoloso! Nyerempet-nyerempet bahaya. Counter-narrative, atau narasi tandingan terhadap narasi agitatif kaum intoleran dan gerakan radikalisme. Itulah arena perjuangan seorang Abu Janda, nama panggung parodinya Permadi Arya.
Mulai naik panggung semenjak Abu Jandal al-Yemeni al-Indonesi, panglima perang ISIS, alias Salim Mubarok Attamimi asal Indonesia tewas (diduga) dalam pertempuran di Mosul, Irak. Ia sempat tampil di media mengancam-ancam Panglima TNI saat itu Jenderal Moeldoko.
Terhadap ancaman Abu Jandal inilah Permadi Arya membuat parodi video pendeknya yang “mengolok-olok” Abu Jandal. Permadi memakai nama Abu Janda. Sejak itu, kiprah Abu Janda alias Permadi Arya di blantika media-sosial terus mengudara. Ia menjadi ikon perlawanan terhadap gerakan radikalisme dan ikon anti-intoleransi.
Parodinya kerap frontal menohok dan “mengolok” ormas-radikal maupun tokoh-tokoh intoleran. Bikin panas kuping, dan barisan intoleran pun banyak yang luka-batin.
Padahal kita tahu juga, dalam jagad politik pragmatis, ormas-ormas radikal dan intoleran itu juga menjadi alat (instrumen) politik dari para begundal politik, para bohir politik hitam. Apakah mereka sakit hati terhadap Abu Janda? Ya jelas dong.
Tapi rupanya Abu Janda alias Permadi Arya tidak ambil pusing dan sama sekali tidak peduli. Hajar terus! Siapa pun yang berulah intoleran akan disikatnya lewat parodinya yang menohok, mengolok dan tentu saja berbahaya!
Ya berbahaya bagi para penunggang, dan bohir politik hitam. Ulah Abu Janda kerap jadi batu sandungan buat siasat mereka demi menghantam ‘the ultimate target’ (target utama) mereka.
Bagaimana bisa sampai ke sana kalau tiap kali sasaran antara mereka di “bantai” terus dengan parodi. Ini khan konyol dan bikin mereka naik darah. Ongkos besar untuk bayar para boneka ini cuma “dipatahkan” lewat parodi-parodi konyol seorang Abu Janda. Gimana gak marah sih?
‘Blessing in disguise’ juga bahwa lewat kasus Abu Janda yang lagi hangat ini, ada seekor ular beludak besar yang ikut keluar sarang. Dulu kita mengira ia seorang yang baik, yang loyal kepada Pak Jokowi, tapi ternyata kabarnya ia seorang penyokong gerakan 212 yang telah ikut menzolimi Ahok.
Baru sekarang kita mengerti, mengapa ia tak dipakai lagi oleh Pak Jokowi. Hmmm…
Sekarang Abu Janda alias Permadi Arya dilaporkan oleh KNPI dengan framing kasus SARA (terkait dengan Natalius Pigai soal “evolusi” dan twit-war-nya dengan Tengku Zul soal “arogansi”). Kedua isu ini sangat sumir untuk dijadikan kasus hukum.
Figur Abu Janda ini memang “seksi” untuk dikorbankan sebagai target operasi sebagai sasaran-antara menuju ‘the ultimate-target’. Game (permainan) ini memang sedang diolah, maka banyak boneka bohir yang turun ke panggung.
Polisi seolah dihadapkan pada dilema Abu Janda di satu sisi vs Pigai & Tengku Zul di sisi seberangnya. Semuanya punya jejak digital berbau SARA, walau konteks masing-masingnya jelas beda.
Yang satu adalah representasi akal sehat dalam melawan intoleransi dan radikalisme lewat parodi (yang kadangkala sarkas), sedangkan pihak yang lainnya memang kerap sengaja membangun narasi rasis dan sinis, bahkan cenderung menyesatkan.
Sedangkan soal KNPI, ya sudahlah, anggap saja mereka cuma sedang berselancar untuk cari panggung murahan.
Sementara itu, panggung Abu Janda alias Permadi arya malah tambah semarak. Kabarnya, followers-nya malah bertambah berlipat-lipat.
Apa yang sedang dihadapi Abu Janda memang konsekuensi dari perjuangan politiknya. Lewat jalan yang dipilihnya, parodi politik yang memang berbahaya! Vivere pericoloso.
Berbahaya bagi dirinya, dan berbahaya bagi mereka yang kerap tertohok oleh olok-oloknya.
Jadi bagaimana?
Ya maju terus! Jangan takut, akal sehat publik pun sedang menimbang-nimbang perkaranya.
Ini khan juga semacam parodi politik besar berjudul: Maju Tak Gentar Membela Yang Benar VS Biar Ambyar Asal Dibayar.
Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).