Oleh: Josef H. Wenas. Kemarin (1/2) tiba-tiba Ketum Partai Demokrat (PD) Agus Yudhoyono (AHY) mengejutkan publik dengan pernyataan ada jenderal di lingkaran Presiden Joko Widodo yang merancang pengambil-alihan PD melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB). Tidak lama kemudian Andi Arief dengan senjata Twitter andalannya menjalankan tugasnya menohok langsung ke Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Sebetulnya, SBY dua hari sebelumnya sudah memberikan sinyal, juga melalui Twitter-nya.
Saya langsung menduga ini arahnya kemana. Namun untuk meyakini apa yang saya pikirkan, saya menunggu dulu apa tanggapan Moeldoko terhadap tudingan Andi Arief.
Jawaban Jenderal Moeldoko saya kutip persis dari Kumparan (1/2 19:43). Begini dia bilang: “Saran saya, ya. Jadi seorang pemimpin harus jadi pemimpin yang kuat, jangan mudah baperan, jangan mudah terombang ambing dan seterusnya. Kalau anak buahnya enggak boleh pergi ke mana-mana diborgol aja.”
Dua hal yang dikatakan Moeldoko menjadi points of analysis tulisan ini: “pemimpin yang kuat” dan “anak buahnya engak boleh kemana-mana.” Moeldoko memang betul, hari ini hipotesanya adalah apakah AHY pemimpin yang kuat untuk PD. Juga, apakah kader-kader PD solid dan tidak kemana-mana **
Orang sering mengacaukan antara “modal politik” dan “modal sosial”. Modal politik itu konkrit dalam bentuk suara sah pada suatu pemilu, maka biasa diistilahkan sebagai “saham politik”. Sedangkan modal sosial itu abstraksi dari suatu kekuatan dukungan yang potensial menjadi modal politik—kalau dibilang si Cuplis didukung oleh kaum Nahdliyin, no body will know how big it is exactly in terms of vote, but everybody knows it will serve a huge leverage in terms of block vote. Gampangnya, modal politik itu “vote”, modal sosial itu “block vote.”
Ketika duet Prabowo Subianto-Fadli Zon menguasai kaum petani melalui HKTI, saat itu dia sedang membangun “block vote” untuk kepentingan “vote”-nya Gerindra; Ketika HKTI kemudian diambil-alih oleh Jenderal Moeldoko, motifnya sama, untuk kepentingan “block vote” Hanura (yang berkoalisi dengan Jokowi)— bukan tanpa alasan petinggi PD rada sensi dan trauma, Moeldoko has the edge over such a thing.
Punya saham politik kelas mayoritas seperti Gerindra, maka bisa menempatkan dua menteri, padahal mereka oposisi, ke dalam pemerintahan koalisi yang menjadi lawan tandingnya di pemilu. Sebaliknya, hanya punya saham politik minoritas seperti PD, tidak bisa apa-apa, kecuali jualan orasi dan narasi politik “sesuai aplikasi” tergantung isunya kemana hari itu, seperti tukang ojek.
Saham politik adalah concern utama PD hari ini. Layaknya suatu korporasi di bursa saham, it is there to stay, not to die, dan karena itu pengembangan usahanya, outputnya, produknya, menjadi amat penting untuk dilihat para calon investor. Ketika korporasi PD dibawah Ketum Subur Budhisantoso di 2004 dan Ketum Hadi Utomo di 2009 meluncurkan produk SBY, saham politik PD saat itu liquid betul, blue chip banget.
Di Pilpres 2004 dan 2009, PD menang berturut-turut dan memimpin eksekutif, di legislatif juga menohok signifikan padahal partai baru lahir. Di 2004 PD punya 57/550 kursi DPR (7,45%); Di 2009 melonjak gila-gilaan saham politiknya, 150/560 kursi DPR (20,40%)
Justru ketika PD dibawah Ketum SBY, setelah menendang Anas Urbaningrum di 2013, pada Pemilu 2014 saham politiknya di parlemen merosot jadi 61/560 kursi DPR (10,19%). Pada pemilu 2019, lebih jeblok lagi, 54/575 kursi DPR (7,77%). Ironis, SBY yang tadinya adalah produk sukses PD, justru ketika menjadi CEO yang merancang produk apa yang mau dijual, malah gagal total.
Hal inilah yang menjadi beban politik sekaligus psikis AHY. Acara Mata Najwa “Bertaruh di Jakarta (Part1),” edisi Rabu 12 Oktober 2016, menggambarkan betul emosi dia saat dibantai Najwa Shihab. Silahkan Anda browse Youtube. Pencalonan AHY di Pilkada DKI Jakarta tempo itu menjadi momentum ketika Ketum SBY meluncurkan produk AHY. Tetapi keputusan SBY ini justru menjadi watershed dimulainya upaya penyelamatan PD oleh kalangan internal yang cara pandangnya berbeda.
Kekuatiran mereka adalah, apakah AHY akan menjadi produk gagal PD ditengah tren “bearish” saham politik PD sejak Pemilu 2014? Yang lebih ditakuti, apakah tren “bearish” PD masih akan berlanjut di 2024 dan sesudahnya bersama produk AHY itu?**
Sebagaimana ditohok Najwa di 2016 itu, pengalaman Mayor (pur) AHY memimpin hanya 20 orang staf di Batalionnya dengan magnitude pengelolaan anggaran kelas Batalion juga, sebelum ditelepon SBY dan ditawari jadi Cagub DKI padahal calon lain harus ikut fit and proper test, itulah inti persoalan sebetulnya. Dan mereka, kalangan internal PD ini, tidaklah salah.
Faktanya AHY gagal dijual di Pilkada DKI 2017, lalu gagal dijual ke Kabinet Presiden Joko Widodo— rumor has it, harga opening-nya mahal banget sebagai RI-2, lalu dinego sebagai Menko, sampai diobral “terserah lo aja Jok, yang penting punya panggung anak gue.” Padahal saham politiknya lagi “bearish” babak belur.
Pada saat yang bersamaan di kalangan internal PD yang prihatin itu melihat ada sosok-sosok yang lebih layak jual, dan sosok-sosok ini akhirnya “kemana-mana.” Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, yang terbukti laku dijual sebagai Gubernur NTB dua periode (2008-2018), akhirnya mendukung Jokowi-Ma’ruf di Pilplres 2019, padahal PD mendukung Prabowo-Sandi. Lalu Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, juga dua periode (2009-2019), juga berpihak ke Jokowi-Ma’ruf. Lukas Enembe, saat ini masih incumbent Gubernur Papua periode kedua sejak 2013, juga mbalelo dukung Jokowi-Ma’ruf saat itu. Deddy Mizwar, Wagub Jawa Barat 2013-2018, sikapnya sama juga, jadi tim juru bicara Jokowi-Ma’ruf.
Itulah sebabnya muncul fenomena “Kubu Condet vs Kubu Cikeas” menjelang Kongres V PD di bulan Maret 2020 dimana AHY at the behest of SBY sebagai Ketum saat itu, terpilih menggantikannya. Tidak selesai disitu. Di bulan Juni 2020 itu, Subur Sembiring, salah satu pendiri dan deklarator PD melakukan manuver KLB untuk menurunkan AHY, dan dipecat dari partai.
Jadi, ide mengganti produk AHY melalui KLB (artinya ada alasan extra ordinary) agar tren “bearish” PD sejak 2014 bisa reversal di bursa 2024 nanti, datangnya justru dari internal partai, bukan dari eksternal. They just beg to differ from SBY on AHY’s future political salability.
Presiden Joko Widodo pasti bingung membaca surat AHY. Barangkali sambil tersenyum geli. –Josef H. Wenas, Yogyakarta 2 Februari 2021