Ada Rakyat Maluku Yang Dipaksa Mencintai NKRI

Ambon. MX. Com. (25/04/20). Bagi pegiat HAM tentu akan melihat fenomena ini sebagai hal yang janggal. Praktik ‘intimidasi’ politik semacam ini rasanya kurang tepat di negera demokrasi yang telah 75 tahun diproklamirkan.

Cara-cara seperti ini hanya akan mempertegas stigma ‘separatis’ pada satu sisi, dan memperkuat political discontent pada sisi yang lain di Maluku. Menunjukan negara gagal menghadirkan format penyelesaian fenomena ‘disintegrasi’ bangsa dengan cara-cara demokratis dan menjunjung tinggi HAM.

Ungkap Pemerhati Kawasan Timur Indonesia, Ikhsan Tualeka, dalam releasenya, yang diterima MX.com (24/04/20) mengatakan ketika Ia di Pulau Haruku, Maluku Tengah, pulang kampung + mudik.

Rencananya akan jalan-jalan keliling pulau, sambil melihat-lihat kondisi eksisting, tapi belum sempat beranjak, beredar satu video amatir di media sosial, memperlihatkan anggota TNI, dengan pengeras suara mengumumkan kepada warga di Aboru, negeri tetangga untuk tidak berkumpul, tidak boleh ke hutan, dan di Tanggal 25 April warga wajib menaikan benderà merah putih di halaman rumah masing-masing.

Beberapa hari sebelumnya, juga beredar video aparat polisi menyerahkan bendera merah putih kepada warga, kemudian dengan lantang warga mengikrarkan NKRI harga mati.

Negara memilih mengambil jalan pintas, dengan ‘intimidasi’, memaksa rakyat mencintai NKRI, yang tentu hanya dipermukaan dan ‘temporary’, ketimbang mengambil langkah dan kebijakan strategis dengan lebih serius pada upaya pengentasan kemiskinan di Maluku “Ujar Ikhsan

Iya, kemiskinan dan ketertinggalan dapat membuat sebuah paham atau ideologi tumbuh dengan suburnya, karana turut memperkuat kekecewaan sosial-politik warga negara. Kekecewaan yang makin dalam bila rakyat mengkomparasikan antara realitas yang di alami saban hari, dengan apa yang disajikan di daerah-daerah lain yang relatif lebih maju.

Di tambahkan Ikhsan : Dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakadilan tetap terpelihara, sebenarnya kita telah membiarkan api tetap membara dalam sekam. Setumpuk persoalan sosial yang ada, seakan Maluku belum menikmati arti kemerdekaan, dapat berujung atau memudahkan rakyat digiring dalam arus gerakan disintegrasi.

Ibarat bisul yang ditutup seperti apapun pasti akan pecah. Jika tidak ingin seperti pemadam kebakaran, yang baru siaga jika ada api yang berkobar, sudah saatnya kebijakan pro-rakyat harus menjadi agenda utama negara dan seluruh eleman masyarakat.

Tetap tumbuh dan berkembangnya gerakan disintegrasi pada satu sisi dan masih terjadi pelanggaran HAM di sisi yang lain, sebenarnya menjadi bukti gagalnya pemerintah membangun masyarakat, mengentas kemiskinan dan ketidakadilan di Maluku. (**)

Pos terkait