Ambon, MX. Com. Ketua Komisi III DPRD Maluku Anos Yermias menyatakan kemarau panjang telah mengakibatkan ratusan, bahkan hampir mencapai seribuan ekor kerbau mati mengenaskan setiap tahun di Pulau Moa bagian timur, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. “Ada surat dari Kades Tounwawan, Kecamatan Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya yang ditujukan ke Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR dan tembusannya disampaikan ke Komisi III DPRD Provinsi Maluku terkait kematian kerbau akibat kemarau dan sulitnya mendapatkan air,” kata Anos kepada sejumlah media, Selasa (28/1).
Ia menjelaskan matinya ternak kerbau milik warga Kecamatan Moa ini bermula dari kunjungan reses yang dilakukan Anos ke Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dan Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Menurut dia, dari kunjungan ke desa-desa dan dusun di Kabupaten MBD, terungkap setiap tahunnya angka kematian kerbau cenderung naik akibat musim kemarau panjang yang biasanya berlangsung antara September hingga awal Desember.
Saat kunjungan kerja di Desa Klis, Kabupaten MBD, angka kematian kerbau setiap tahun juga mengalami peningkatan. “Karena itu kami harus sampaikan hingga saat ini pemerintah kabupaten juga kurang peduli dengan kematian kerbau setiap tahun terutama di Pulau Moa bagian timur,” katanya.
Kebetulan saat reses, dirinya juga datang bersama staf dari Balai Wilayah Sungai Maluku sekaligus menggunakan kesempatan mencari sumber air untuk nantinya dilakukan pembangunan air bersih atau air baku seperti yang sudah dilakukan di Desa Wakarleli, Kecamatan Moda. Sehingga, kata dia, pada 2021 bisa dibangun sarana air bersih di Tounwawan dan Dusun Klis untuk menyelamatkan kerbau-kerbau yang selama ini hidup dan makan di padang rumput.
“Setiap tahun per dusun, misalnya di Dusun Kiera yang merupakan petuanan (hak ulayat) Desa Tounwawan, kematian kerbau mencapai sekitar 300-an ekor belum termasuk desa induk yang bervariatif antara 300 hingga 500 ekor kerbau,” kata Anos.
Saat ini, harga satu ekor kerbau di Moa dan Pulau Kisar di atas Rp 4 juta dan kalau setiap tahun kematian kerbau di atas 500 ekor misalnya lalu dikonversikan ke nilai rupiah, maka sudah mencapai Rp 2 miliar. “Kasihan rakyat di sana, dan untuk apa pemerintah ada di kabupaten kalau kemudian kebutuhan masyarakat terhadap air bersih misalnya masih terus terabaikan,” katanya.
Komisi III DPRD Maluku juga sudah meminta Balai Wilayah Sungai melakukan evaluasi program-program penyediaan air bersih dan embung supaya yang dilakukan benar-benar tepat sasaran. Misalnya pembangunan air bersih, menyediakan keran air, dan membangun tempat minum khusus untuk kerbau-kerbau yang berdatangan. Hal yang disayangkan adalah jarak antara desa-desa dan dusun dengan Tiakur sebagai Ibu Kota Kabupaten MBD hanya bisa ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 menit. Namun, sampai hari ini ada program pemerintah daerah yang disebut “Agrowisata Kerbau Moa”atau “artakekemo” sehingga mestinya harus ditindaklanjuti dengan upaya-upaya untuk menyelamatkan kerbau ini”
Ini merupakan harapan DPRD dan mudah-mudahan saja surat yang disampaikan kepala desa bisa segera terealisasi,” katanya. (**)