“Budaya Masyarakat dan Perubahan Iklim: Sinergi untuk Mengatasi Tantangan Global di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku’’

MALUKUEXPRESS.COM, Kabupaten Seram Bagian Barat teletak di Pulau Seram dan sekaligus rumah bagi budaya yang kaya dan masyarakat yang memiliki kedalaman sejarah yang luar biasa. Daerah ini bukan hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga sebagai penyimpan nilai-nilai dan kultur tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, seperti perubahan iklim (climate change), hilangnya keanekaragaman hayati (Biodiversity), dan masalah lingkungan lainnya, Kabupaten Seram Bagian Barat dan komunitasnya menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana budaya, masyarakat, dan iklim dapat bekerja bersama dan sinergi untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.

Masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungan sekitarnya, di mana sumber daya alam, kehidupan sehari-hari, dan budaya saling berkelindan. Fenomena ini menciptakan kerangka kerja unik di mana praktik-praktik pelestarian lingkungan adalah bagian integral dari dinamika keseharian. Pada perspektif yang lain, kita melihat bagaimana perubahan iklim telah mempengaruhi masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat, dengan dampak yang semakin dirasakan pada lingkungan alam dan kehidupan masyarakat. Namun, bukan tanpa usaha, masyarakat dan pemerintah setempat telah mengembangkan kegiatan-kegiatan inovatif untuk pelestarian lingkungan alam dan iklim demi meresponi dilema tersebut.

Budaya sebagai Identitas dan Kebijakan Lingkungan

Desa-desa  di Kecamatan Taniwel Timur, khususnya di sekitar wai Makina terdiri atas desa Waraloin, Musuhuwei, Solea, Tonusa, Uwen dan Walakone. Masyarakat yang mendiami desa-desa ini merupakan masyarakat asli yang telah turun temurun berada di lokasi/wilayah tersebut. Masyarakat desa yang berada di sekitar DAS wai Makina pada awalnya bermukim di daerah pegunungan, kemudian sekitar tahun 1950 – 1960 barulah mereka mendiami wilayah pesisir pantai yang merupakan lokasi pemukiman mereka saat ini.

Masyarakat desa di wilayah kecamatan Taniwel Timur khususnya di sekitar DAS wai Makina memiliki adat/tradisi, kearifan local (Local Wisdom) dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan atau sumberdaya alam lainnya yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bentuk-bentuk adat/tradisi itu adalah : 

1). Pola pengelolaan lahan dalam bentuk dusung

Dusung adalah lahan yang diusahakan dan dimiliki oleh sebuah kelompok keluarga, “mata rumah” dan di atas lahan ini terdapat tanaman umur panjang yang bervariasi atau pula yang sejenis dan  tanaman semusim. Dusung juga diartikan sebagai suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan hutan maupun tanaman usaha/pertanian. 

Dusung merupakan Agroforestry tradisional di Maluku dan dapat dibagi berdasarkan tiga fungsi yakni sebagai: fungsi produksi, fungsi konservasi dan fungsi lindung. Fungsi Produksi yaitu masyarakat dapat memanfaatkan keberadaan dusung ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari dan sebagai sumber pendapatan keluarga. Fungsi Konservasi yaitu dusung merupakan suatu pola perladangan yang menuju pola pertanian  menetap dan  mengacu pada kelestarian sumber daya.  Fungsi Lindung yaitu dusung dapat berfungsi lindung sebagai pengendali erosi, banjir, longsor, pencemaran dan lain-lain. Fungsi lindung dalam arti yang luas juga sebagai pelindung dalam ketahanan dan keamanan pangan dan perlindungan lainnya. 

2 ) Sasi

Suatu aturan atau norma yang melarang masyarakat  untuk mengambil hasil tanaman atau hasil hutan dalam jangka waktu tertentu, dimana aturan atau norma tersebut telah menyatu dalam  kehidupan  budaya mereka. Sasi yang dikenal oleh masyarakat di kecamatan Taniwel Timur dan sekitarnya adalah  sasi adat/negeri dan sasi gereja. Bagi mereka yang melanggar sasi maka akan dikenakan sanksi. 

Bentuk-bentuk sanksi yang diberlakukan berkaitan dengan jenis sasi yang dilanggar. Kalau sasi gereja maka sanksinya orang yang melanggar akan kena musibah atau sakit sehingga harus di doakan oleh pendeta. Sedangkan sanksi bagi pelanggaran terhadap sasi adat yaitu harus membayar denda sesuai adat yang berlaku (adat patalima) karena wilayah tersebut masuk dalam wilayah adat patalima. Sanksi tersebut berupa denda benda-benda kuno seperti piring tua, gong, kain tenun dll, sebanyak kelipatan angka lima (patalima) misalnya 55 atau 555 dst.

3) Kewang

Kewang merupakan lembaga adat yang berfungsi untuk mengawasi areal petuanan suatu kelompok masyarakat  adat termasuk mengawasi pelaksanaan sasi. Kewang juga diartikan sebagai orang yang bertugas untuk menjaga perbatasan negeri dan batas-batas tanah atau petuanan milik masyarakat baik milik keluarga maupun milik marga serta negeri.

4). Masohi

Masohi merupakan suatu bentuk kerjasama masyarakat (gotong-royong). Misalnya dalam pengelolaan dusung, masohi biasanya dilakukan  pada saat pembukaan dusung baru, pembersihan dusung dan pemanenan hasil dusung. Dalam sistim masohi ini pemilik dusung tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar mereka yang bekerja saat itu, pemilik dusung cukup menyediakan kebutuhan makan dan minum untuk mereka yang bekerja. Khusus untuk aktivitas pemanenan hasil dusung, biasanya mereka yang membantu kegiatan pemanenan tersebut akan diberikan sedikit dari hasil yang dipanen.  

5). Tempat pamali/keramat

Tempat pamali / keramat yaitu lokasi yang dilarang untuk dilakukan aktifitas apapun, bahkan pada tempat-tempat tertentu tidak boleh dimasuki oleh orang lain, selain dari mereka (marga tertentu) yang mempunyai hubungan khusus secara adat dengan tempat keramat tersebut. Jika ada orang yang melanggar atau melakukan aktifitas dilokasi ini maka orang tersebut bisa kerasukan atau tertimpa bencana, sehingga untuk menyembuhkannya harus dilakukan secara adat oleh tua-tua adat yang menguasai lokasi tempat keramat tersebut.   

Masyarakat desa di wilayah kecamatan Taniwel Timur memahami bahwa jika hutan mengalami kerusakan  atau lahan menjadi kering dan laut tercemar akibat banjir/erosi dll, maka akan berdampak buruk terhadap mata pencaharian mereka. Hal ini telah terbukti ketika adanya kegiatan eksploitasi hutan/ logging beberapa waktu lalu di wilayah ini maka beberapa sungai airnya menjadi keruh (coklat), sehingga masyarakat tidak bisa memanfaatkannya untuk mandi, cuci dan air minum serta ikan dan udang di sungai yang dulunya bisa ditangkap oleh masyarakat, saat ini sudah tidak ditemukan lagi. Juga pada waktu hujan terjadi banjir menyebabkan laut menjadi tercemar, sehingga sulit menangkap ikan di laut.  

Masyarakat sebagai Penggerak Aksi Lingkungan

Masyarakat adalah motor penggerak dalam upaya mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim. Masyarakat dapat melakukan tindakan nyata untuk mengurangi jejak lingkungan mereka, seperti mengurangi konsumsi energi, meminimalkan pemborosan, dan mendukung energi terbarukan. 

Masyarakat yang sadar akan isu-isu lingkungan dan budaya yang mempromosikan keberlanjutan akan lebih mungkin terlibat dalam tindakan lingkungan. Melalui pendidikan dan kesadaran lingkungan, masyarakat dapat memahami pentingnya pelestarian sumber daya alam dan iklim yang stabil.

Perubahan Iklim sebagai Tantangan Global Utama

Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming) adalah salah satu tantangan global paling mendesak yang kita hadapi. Dampaknya sudah terasa di seluruh dunia, dari banjir hingga kekeringan, dari kenaikan permukaan air laut (sea level rise) hingga bencana alam hidrometeorologi yang semakin sering terjadi. Mengatasi perubahan iklim memerlukan tindakan global yang koordinatif, kompak dan tegas.

Budaya, masyarakat, dan iklim dapat berkolaborasi untuk mengatasi perubahan iklim. Budaya yang menghargai alam dapat memotivasi masyarakat untuk berperilaku lebih baik, sementara masyarakat yang terlibat dalam aksi lingkungan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mempromosikan energi terbarukan.

Sinergi untuk Menciptakan Solusi

Sinergi antara Dusung, Sasi, Kewang, Masohi dan Tempat Pamali adalah budaya yang merupakan kekayaan kultural dalam pengelolaan sumber daya alam, dan Program Kampung Iklim (ProKlim) yang bertujuan mengatasi perubahan iklim memiliki potensi besar untuk menciptakan solusi berkelanjutan. Pelaksanaan ProKlim relevan dalam konteks Kabupaten Seram Bagian Barat, yang kaya akan kultur dan kearifan local juga menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Program Kampung Iklim (ProKlim) merupakan insiatif pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen. PPI) yang bertujuan untuk mengendalikan perubahan iklim melalui aksi adaptasi dan mitigasi, serta dukungan kelembagaan (Permen LHK No. P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 Tentang Program Kampung Iklim). 

Untuk mencapai tujuan ini, sinergi antara berbagai stakeholder pemangku kepentingan adalah kunci, dan pendekatannya dapat diaplikasikan di seluruh Indonesia, termasuk di Kabupaten Seram Bagian Barat. Sinergi antara kultur budaya dan program Kampung Iklim bukan hanya memungkinkan, tetapi juga menguntungkan dan memberikan nilai Mutual Benefit. Elaborasi antara kedua mazhab ini dapat menjembatani kesenjangan antara pendekatan modern dan tradisional dalam mengatasi tantangan perubahan iklim. Nilai kultur dan budaya membawa warisan pengetahuan leluhur yang berharga, sementara program Kampung Iklim membawa alat dan pengetahuan baru untuk menghadapi perubahan iklim. Ketika dua ‘metafora’ ini bersatu, dapat menciptakan solusi berkelanjutan yang memadukan kebijaksanaan masa lalu dan inovasi masa depan. Bumi Saka Mese Nusa (Kabupaten SBB) dan komunitas lokalnya dapat menjadi patron bagi kabupaten/kota lain di Provinsi Maluku, bagaimana sinergi antara kultur budaya dan ilmu pengetahuan dapat menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Salam Lestari….!!

DAFTAR PUSTAKA

Laporan Penelitian, 2007. Hak Ulayat Masyarakat Adat di Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB. Kerjasama Pemda SBB dan Fakultas Pertanian Unpatti.

Silaya T, 2004. Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan dan Lingkungan di Kecamatan Taniwel . SBB.

Laporan Kegiatan, 2013. Survei Potensi Areal Pengganti Kawasan Konservasi di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kerjasama Pemda SBB dan BKSDA Maluku.

Penulis : Franky D.J.Tutuarima, S.Hut.,M.Si (Kepala Seksi Wilayah I Ambon Balai Pengendalian Perubahan Iklim Wilayah Maluku dan Papua)

Pos terkait