Tual, MX.com. Tindak lanjut Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang dilakukan safari adat oleh Pemerintah Daerah, perangkat OPD, para Tokoh adat, raja dan kapitan dalam rangka sosialisasi tentang Ranperda yang mengatur tentang tata cara pemilihan kepala ohoi atau finua yang sudah dilakukan kurang lebih 90 persen pada desa-desa, baik itu di daratan maupun pulau-pulau, dengan rancangan yang diatur dan didesain pemerintah daerah melalui bagian hukum sudah diajukan untuk dikaji lebih mendalam di DPRD maka memandang perlu untuk dilaksanakan hearing dialog dengan semua elemen. Yakni antara lain yang dilibatkan; Tokoh adat, pemuda, mahasiswa, dosen, pers, tokoh perempuan, kepala desa, dusun, lurah, OKP, OPD guna mendapat masukan dan tanggapan dengan rancangan yang diusulkan pemda untuk dikaji lebih mendalam dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) dengan topik pengacuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Kota Tual yang dilaksanakan di Aula Mitra Mart Sabtu (12/10).
Turut hadir dalam acara dimaksud adalah Ketua DPRD Kota Tual dan Sekda mewakili Walikota karena ada tugas keluar daerah, berapa anggota DPRD, kepala OPD, para raja, kapitan baik beberapa dari kabupaten Kepulauan Kei dan Kota Tual yang terlibat dalam kesatuan “Ursiu Lor Lim” yang dipercayakan sebagai narasumber dalam acara dialog, bersama yang dipandu moderator salah satu anggota DPRD Kota Tual yang juga termasuk tim penyusunan Ranoerda Zein Rumles bersama Pjs Bagian hukum, Kepala Bappeda.
Dalam paparan materi terkait dengan Ranperda yang mengatur tentang pemilihan Kepala ohoi atau Finua. Ranperda yang mengatur tentang ratskap dan ohoi atau finua di Kota Tual juga mengatur tentang badan saniri ohoi (BSO) atau badan seniri finua (BSF) di kota tual.
Sesuai penjelasan yang disampaikan oleh para raja dan pemerintah maka diberikan kesempatan kepada peserta dialog untuk memberikan saran dan masukan serta tanggapan terhadap materi penyusunan 4 ranperda dimaksud, maka ada beberapa masukan dari semua unsur yang hadir antara lain mengkritik tim penyusunan Ranperda maupun Pemda yang tergesa-gesa untuk menyusun Ranperda dimaksud. Selain itu, yang dipersoalkan pula tentang rapat koordinasi yang sudah dilakukan antara Pemda baik eksekutif maupun legislatif dan para raja belum ada penyamaaan presepsi maupun konsep karena masyarakat adat di Kota Tual, sudah diatur wilayah kekuasaan setiap raja dimana setiap wilayah berbeda istilah atau bahasa adat yang berbeda, contohnya bahasa daerah kei tidak sama dengan bahasa dan istilah-istilah dari pulau-pulau Kur dan yang lain-lain.
Selanjutnya yang diharapkan masyarakat adat itu, Ranperda harus gagasannya dari masyarakat di Dusun, Desa, Kelurahan baru dibawah ke tingkat pemerintah dalam hal ini bagian hukum untuk diproses, bukan sistim top down dari atas dan diharapkan rancangan ini agar DPRD jangan tergesa-gesa untuk disahkan menjadi Perda tetapi paling tidak ada masukan, saran, kritikan yang disampaikan dari perwakilan mahasiswa, OKP, insan pers, dosen, pemuda, tokoh perempuan, masyarakat dan stekholder yang lain perlu dikaji secara baik soal kajian ilmiah kajian adat dari para raja, sehingga semuanya melalui tahapan dan proses yang baik dan pada waktunya ditetapkan menjadi Perda.
Kedepan tidak ada yang komplain karena ada pihak-pihak atau kelompok masyarakat adat yang merasa dirugikan atau hak-hak mereka diikat dengan Perda dimaksud, hingga nanti ada aksi lewat unjuk rasa (demo) atau ditingkat masyarakat adat muncul masalah yang berkepanjangan, paling tidak mengatasi rentang kendali maupun masalah dan menciptakan kerukunan dan kenyamanan bagi masyarakat adat di Kota Tual dan Nuhu Evav. (Metty Naraha)